Minggu, 26 Juli 2015

Sejarah Pariwisata Bali


Bali mulai dikenal bangsa asing ketika pada tahun 1579 Cornelis de Houtman terpesona dengan keindahan pulau Bali. Bangsa Indonesia pada waktu itu cukup terkenal sebagai penghasil rempah-rempah, akan tetapi Pulau Bali mulai dikenal menarik disisi keindahan alam, budaya dan kulturnya. 

Pada 1914 di masa penjajahan Belanada, setelah situasi di pulau Bali dianggap cukup damai, pemerintah Hindia Belanda menggantikan peran tentara kependudukan dengan petugas sipil. Pada waktu itu Bali sudah bisa diakses dari Surabaya dengan kapal laut. Keindahan Bali mulai dikenal berkat artikel dan lukisan tentang Bali yang dibuat para kolega penjajah Belanda yang sempat mengunjungi Bali. Hal itu membuat sebagaian orang Eropa dan Amerika ingin mengunjungi Bali. Pada awalnya para wisatawan yang mengunjungi Bali, datang menggunakan kapal laut rute Batavia - Surabaya- Makasar. 

Infrastruktur perhubungan mulai giat dibangun pemerintah kolonial Belanda. Pada 1926 Singaraja sebagai pusat pemerintahan mempunyai tiga jalur jaringan lalu lintas. Pertama jalan dari Singaraja menuju Kubutambahan dan jalur Kintamani menuju Denpasar sepanjang 118 Km. Kedua, jalur Singaraja, Bubunan dan Pupuan sepanjang 113 km dan ketiga melalui Danau Bratan Bedugul sepanjang 78 km.

Pada 1924 wisatawan secara khusus mulai datang ke Bali setelah dibuka suatu pelayaran mingguan antara Singapura, Batavia, Semarang, Surabaya singgah di Bali di Pelabuhan Singaraja, baru kemudian ke Makasar. Pengelolanya adalah KPM (maskapai pelayaran kerajaan Belanda) yang bersedia menerima penumpang di atas kapal-kapalnya. Sebelumnya kapal-kapal itu hanya mengangkut hasil bumi kopra, kopi, sapi dan terutama babi. Jalur pelayaran ini akhirnya bernama Bali Express.

Begitu tiba di pelabuhan Singaraja, Bali utara, para wisatawan menyewa kuda atau kereta kuda untuk perjalanannya melihat kawasan Kintamani, Ubud dan sekitarnya. Untuk bermalam mereka dapat memakai pesanggrahan-pesanggarahan milik pejabat kolonial yang kosong.

Beberapa waktu kemudian perwakilan KPM di Singaraja diangkat sebagai wakil resmi Official Tourist Buerau di Bali. Berkat usaha KPM juga, para wisatawan dapat menyewa taksi, lengkap dengan driver dan pramuwisata berbahasa Inggris. Mereka juga menyewakan kamar penginapan di pesanggarahan milik mereka.

Data-data yang dikeluarkan Official Tourist Bureau pada tahun 1924 yang mencatat ada 213 pelancong yang datang ke Bali. Jumlah wisartawan terus meningkat secara teratur. Pada 1926 menurut Majalah Tourism in NetherlandsEast Indies edisi 8 Februari 1927 ada sebanyak 480 wisatawan mengunjungi Bali.

Majalah itu juga menawarkan paket wisata termasuk akomodasi bagi mereka yang ingin menyaksikan upacara Ngaben di kawasan Karangasem Bali pada Mei 1927. Dalam penawarannya, calon wisatawan akan diangkut dengan kapal Swartbandt yang bertolak dari Surabaya. Sesampainya di Bali para wisatawan disediakan mobil dan menginap di pesanggarahan milik pemerintah kolonial Belanda.

Di antara para pelancong yang datang ke Bali ada Brigadir Jendral L.C.Koe dari Angkatan perang Inggris yang datang bersama istrinya dibulan Januari 1927. Perwira tinggi itu mengunjungi Bali dalam rangkaian kunjungan ke Sumatera dan Jawa. Pada 1929 jumlah pelancong sudah mencapai 1428 orang. Jumlah wisatawan sempat merosot setelah terjadinya depresi ekonomi dunia pada tahun 1930.

Pada 1928 KPM membuka Bali Hotel sebagai pengganti pesanggrahan di Denpasar. Lokasinya di bekas tempat terjadinya peristiwa Perang Puputan tahun 1906. Pesanggrahan Kintamani dibenahi, dikhususkan buat para wisatawan yang ingin menikmati pemandangan Danau Batur dan Gunung Batur yang mempersona. Kawasan teluk Padang Baik di sebelah tenggara pulau Bali yang sekarang menjadi pelabuhan penyeberangan Bali - Lombok juga ditata untuk menampung kapal pesiar. Pada akhir 1920-an frekuensi hubungan laut meningkat mencapai rata-rata empat kapal seminggunya merapat di pelabuhan Padang Bay.

Akses menuju Bali semakin terbuka setelah 1930. Pada 1933 dibuka jalur penerbangan Surabaya ke Bali, disusul ada 1934 dibuka pelayaran kapal bolak-balik Gilimanuk Bali barat dan Ketapang Banyuwangi. Sejak 1934 jumlah wisatawan yang mengunjungi Bali per tahun mencapai 3000 orang. Kemampuan akomodasi perhotelan di Bali sebelum Perang Dunia ke II adalah 78 kamar dobel, 48 kamar di Bali Hotel, 16 kamar di Satrya Hotel milik keturunan Tionghoa yang dibangun awal 1930-an di Denpasar dan 6 kamar di KPM Bungalow Hotel di Kintamani. Terdapat juga berapa bungalow yang dikelola orang Amerika di kawasan Kuta.

Sebagian wisatawan umumnya menumpang kapal pesiar yang berlabuh di Padang Bai selama satu atau dua hari. Ada juga yang datang dengan menggunakan kapal KPM yang berlabuh di lepas pantai Buleleng, Singaraja Bali utara. Para wisatawan dari Amerika Utara dan Eropa tiba di Bali setelah menyeberangi Samudera Pasifik atau menelusuri pantai-pantai Asia sesuai dengan rutenya. Mereka menganggap Bali adalah ujung benua Asia atau inti sari Asia yang misterius.

Salah satu acuan infromasi tentang Bali adalah Walter Spies seorang pelukis dan musikus berkebangsaan Jerman yang menetap di Bali semenjak tahun 1927 dan berada di sana hingga waktu Perang Dunia ke II. Dia menjadi pemandu bagi para seniman, pelukis dan tokoh yang akan berkunjung ke Bali. Walter Spies memperkenalkan kepada dunia kekayaan dan keanekaragaman budaya Bali. 

Rumah Walter Spies di Ubud sering kedatangan seniman dan intelektual dari Eropa dan beberapa bangsa lain seperti Antropolog Margaret Mead (asal Amerika), pelukis Miguel Covarrubias (Meksiko), aktor Charlie Chaplin (Amerika), hingga seksolog Magnus Hirschfeld (Jerman). Walter Spies juga mengembangkan kesenian Bali.

Kontribusi lainnya dari Walter Spies pada tahun 1936 mendirikan kelompok seniman Pita Maha bersama Rudolf Bonnet, Gusti Nyoman Lempad, dan Tjokorda Gede Agung Sukawati. Mereka melestarikan seni rupa Bali yang mulai berubah menjadi seni pesanan demi memenuhi permintaan turis.

Di tahun 1936 sepasang suami istri dari Amerika bernama Bob yang berprofesi sebagai fotografer dan istrinya Louise Koke seorang pelukis tiba di Bali. Mereka menulis buku yang menggambarkan bahwa hotel di Bali pada waktu itu sudah mempunyai fasilitas kamar mandi modern dengan air panas. Mereka juga menulis tentang sensualitas perempuan Bali dengan pakaian dada terbuka sebagai hal aneh bagi orang-orang Barat .

Dalam buku yang berjudul Our Hotel in Bali itu menceritakan sukses mereka mendirikan sebuah cottage di kawasan Kuta, dan gambaran menarik situasi kota Denpasar pada masa itu. Mereka melihat perumahan penduduk yang terbuat dari campuran papan, toko kelontong milik orang Cina, sejumlah toko barang antik dan seni, serta toko yang menjual sutera dan batik.

Perang Dunia ke II memberikan keguncangan di Bali. Sejumlah orang Jerman termasuk Walter Spies ditangkap. Dia bersama tawanan Jerman dikirim ke luar Bali. Namun di tengah jalan kapal itu ditenggelamkan oleh armada Jepang. Walter Spies termasuk yang terbunuh.

Penjajah Jepang ketika tiba di Bali tahun 1941

Sejarah mencatat kedatangan Jepang mengakhiri untuk sementara dunia pariwisata Bali. Sehabis Perang Kemerdekaan situasi di Bali mulai pulih sebagai suatu tempat tujuan wisata. Harian Merdeka edisi 6 Januari 1951 memberikan laporan menarik mengenai situasi Bali masa itu. Berbeda dengan di kebanyakan daerah lain di Indonesia yang angka kriminalitas begitu tinggi karena ada permasalahan bekas pejuang dan gerombolan bersenjata yang tidak puas terhadap pemerintah pusat, di Bali menunjukkan situasi yang sebaliknya.

Para wisatawan yang menginap di hotel Bali tidak perlu mengunci pintu kamarnya. Pelayannya malah akan tersinggung kehormatannya jika ada tamu yang mengunci pintu kamarnya. Tak ada pemberitaan lagi perempuan Bali yang tidak memakai baju atasan. 

Jalan Gajah Mada Denpasar tahun 1970-an

di tahun 1950-an tarif taksi di dalam kota Denpasar berkisar 17 sen per Km-nya. Untuk keperluan ke luar kota wisatawan bisa menyewa sebuah mobil sedan dengan tarif Rp 100,- satu kali jalan. Perjalanan Denpasar-Singaraja sejauh 87 Km ditempuh dalam waktu 2,5 jam melalui jalan pegunungan Bedugul. Sementara dengan bus wisatawan menempuh waktu 7 jam dan satu orang harus membayar Rp10,-

Koran Pikiran Rakjat terbitan Bandung edisi 1 Maret 1951 memberitakan adanya kunjungan 135 pelancong Amerika yang berkunjung di Bandung setelah mereka mengadakan kunjungan terlebih dahulu di Bali. Di antara para pelancong itu terdapat nama Robert W. Gobson yang menyatakan bahwa ia berbelanja hingga Rp 300.000,- di Pulau Bali. Ada juga pedagang bernama White pedagang dari North Carolina yang mengaku sudah berkeliling 40 negara namun Bali adalah yang paling eksotis dan menarik.

Pada 1950-an juga perlahan orang-orang Bali mulai merintis kembali pariwisata di daerahnya. Di antara perintis itu ialah Anak Agung Panji Tisna yang menjadi wiraswastawan.

Awalnya dia membangun gedong bioskop “Maya Theater”, kemudian di tahun 1953 A.A.Panji Tisna mulai membangun tempat istirahat atau villa di tepi pantai Kampung Baru, desa Tukad Cebol (sekarang desa Kaliasem). Pada tahun 1956 dunia pariwisata Bali mencatat sejarah ketika Ida Bagus Kompiang dan Anak Agung Mirah Astuti menjadi pengusaha pribumi yang membangun hotel pertama di kawasan Sanur, Denpasar, yang diberi nama Hotel Segara Beach.

Presiden pertama Soekarno juga sering membawa tamu-tamu negara ke Bali seperti Nehru, President Kennedy, dan Ho Chi Minh (Vietnam). 

Pantai Kuta di tahun 1980-an

Di daerah Gianyar Soekarno membangun Istana Tampaksiring ini yang mempunyai panggung khusus untuk pementasan tari-tarian. Pembangunan dimulai pada 1957 dan selesai pada 1963 oleh arsitek RM Soedarsono. Selanjutnya perhatian Presiden Sukarno pada kesenian Bali terlihat pada pengiriman tim kesenian Bali pada tahun 1950-an ke luar Negeri, seperti Czechoslowakia, untuk mempromosikan kebudayaan Bali khususnya dan Indonesia pada umumnya. 

Pada tahun 1960 kawasan Pantai Kuta masih sepi sekali. Hanya sedikit wisatawan yang berkunjung ke kawasan ini. Pantai Sanur justru lebih dahulu ramai wisatawan di era tahun 1960 - 1970.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Translate